.

Ketika Demografi Merombak Peta

Pada tahun 2100 akan ada sekitar 10 miliar manusia di dunia. Raksasa-raksasa baru seperti Nigeria akan muncul di samping India atau Cina, jauh di depan negara-negara Barat.

Sebuah investigasi oleh Marina Julienne yang telah dipublikasikan pada 14 November 2022.

Daftar Isi

Menuju Puncak 10 Miliar Manusia

Dengan tingkat pertumbuhan yang melambat sekarang ini, kurva populasi dunia akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2080, sebelum akhirnya melandai kembali.

Kelahiran-kelahiran saat ini adalah populasi masa depan. Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World Population Prospects: The 2022 Revision | Infografis: WeDoData

BEBERAPA HIPOTESIS

Proyeksi demografis memperkirakan tren fertilitas dan harapan hidup saat lahir masih akan terus berlanjut. Menurut skenario yang paling mungkin, populasi dunia akan mencapai 10,4 miliar jiwa pada 2100. Skenario tinggi dan rendah disimpulkan berdasarkan pada antisipasi yang berbeda-beda terhadap tren fertilitas dan kematian.

PRAKIRAAN 10 NEGARA TERPADAT DI DUNIA
Evolusi 2022-2100: Populasi naik/Populasi turun

Dahulu pernah terjadi keseimbangan antara jumlah kelahiran dan kematian, sehingga populasi manusia cenderung stabil. Pada abad ke-18, berkat pertumbuhan ekonomi, kemajuan medis dan tingkat kebersihan, dicetuskan sebuah pertumbuhan populasi yang luar biasa, yaitu : awal era “transisi demografis”. Antara tahun 1800 -tahun dimana populasi manusia mencapai “satu miliar pertama”, hingga saat ini populasi dunia telah menjadi delapan kali lipat! Tren keianikan ini akan terus berlanjut hingga 9.7 miliar manusia du tahun 2050, menurut perkiraan yang dikeluarkan PBB pada pertengahan tahun 2022. Dengan catatan penting, terjadinya pergeseran posisi di antara negara-negara terpadat di dunia : mulai 2023, India akan merebut gelar negara terpadat dari Cina dengan 1,43 miliar penduduk (1,7 miliar pada 2050). Sementara sebagai “Negara nomor 1 “, Cina akan mengalami penurunan populasi di tahun 2023: kurang dari 800 juta penduduk pada 2100, dibandingkan dengan 1,4 miliar penduduk pada 2022. Layaknya Cina, banyak negara saat ini tengah mengalami tingkat fertilitas yang rendah, menandai fase terakhir transisi demografis, yaitu: populasi yang stagnan bahkan menurun. Namun, secara global, pertumbuhan masih terus berlanjut karena adanya “inersia demografis”: dimana angka kelahiran tetap dua kali lebih tinggi daripada angka kematian dan mayoritas orang tua yang akan memiliki anak pada tahun 2030 atau 2040 sudah diahirkan pada saat ini. Meskipun demikian, peningkatan yang terjadi saat ini berjalan lebih lambat: dari 2% pada tahun 1970-an menjadi 1% per tahun menjelang krisis kesehatan pada 2020. Menurut skenario yang paling mungkin, populasi dunia akan mencapai 10,4 miliar sekitar tahun 2080 dan kemudian tetap stabil hingga tahun 2100 sebelum akhirnya menurun.

Pertumbuhan yang Tidak Merata

Dalam beberapa decade mendatang, satu dari tiga manusia adalah orang Afrika. Orang-orang Barat sebaliknya akan semakin sedikit.

Empat puluh tahun yang lalu, PBB memperkirakan bahwa populasi dunia akan mencapai 10-11 miliar pada tahun 2080 – angka paling mendekati yang dipakai dalam skenario saat ini. Tetapi pada saat itu, para pembuat prediksi melebih-lebihkan pertumbuhan populasi di Asia dan di Amerika Latin, serta meremehkan pertumbuhan di Afrika. Mereka meramalkan bahwa planet ini akan dihuni oleh 2,2 miliar orang Afrika pada 2100, sementara prediksi yang dibuat pada tahun 2022 menghitung akan ada 4 miliar orang Afrika, dengan demikian satu dari tiga orang adalah orang Afrika! Kesenjangan antara skenario yang dibuat dahulu dan hari ini dapat dijelaskan dengan tingkat fertilitas di Afrika yang tetap tinggi: rata-rata 4,2 anak per perempuan, dibandingkan dengan 2,3 di tingkat global. Meskipun begitu, tingkat fertilitas tersebut tidak merata di benua tersebut: Aljazair, Afrika Selatan dan Kenya memulai transisi demografis mereka sejak tahun 1960-an. Sementara itu, di sembilan negara Afrika, perempuan masih melahirkan rata-rata lebih dari 5 anak, dengan Nigeria sebagai pemegang rekor dunia (rata-rata 6,7 anak per perempuan). Di benua-benua lain, populasi menurun. Di Eropa, populasi akan menurun hingga 7% pada tahun 2050. Untuk sekitar 30 negara, seperti Jepang dan Korea Selatan, penurunan populasi bisa mencapai 10% antara tahun 2019-2050. Adapun bekas blok Soviet diperkirakan akan mengalami penurunan populasi lebih dari 20% pada tahun 2050! Beberapa dari negara ini, misalnya Bulgaria dan Latvia, bahkan akan mengalami “tiga kutukan demografi” sekaligus: penurunan angka kelahiran (tingkat fertilitas di bawah 1,5 sejak 20 tahun), peningkatan angka kematian (berkaitan dengan memburuknya layanan kesehatan dan alkoholisme), dan meningkatnya emigrasi.

© Photo12/Alamy/Adeyinka Yusuf

Nigeria, Sang Raksasa Baru

Dengan populasi sebanyak 216 juta jiwa, Nigeria sudah menjadi negara terpadat di Afrika. Satu dari enam orang Afrika adalah orang Nigeria! Namun, populasi negara ini akan berlipat ganda dalam 40 tahun dan dapat mencapai 550 juta jiwa pada tahun 2100, menempatkannya sebagai negara ke-3 terpadat di dunia setelah Cina. Pertumbuhan ini disebabkan oleh tingkat fertilitas yang tinggi: 5,1 anak per perempuan saat ini, bahkan hingga 8 anak di daerah pedesaan. Di atas wilayah seluas kira-kira 920 ribu km2 atau kurang dari dua kali wilayah Prancis Metropolitan, tekanan demografis sudah menjadi sumber konflik, terutama masalah akses air dan tanah.

Setelah Tahun 2050, Prediksi-prediksi Menjadi Lebih Tidak Pasti

Jumlah anak per perempuan, usia harapan hidup… Setelah 20 atau 30 tahun ke depan, akan sulit untuk memprediksi dengan pasti perubahan parameter-parameter tersebut.

Di masa depan, untuk mengkalkulasi ukuran sebuah populasi dan persebarannya berdasarkan usia dan jenis kelamin, para peneliti memperluas tren-tren yang disediakan oleh data terkini seputar fertilitas, kematian, dan migrasi. Dengan begitu, skenario dibuat berdasarkan rentang tinggi dan rendah, termasuk proyeksi rata-rata yang paling masuk akal. Untuk rentang waktu 20-30 tahun, proyeksi-proyeksi ini realistis – tanpa memperhitungkan peristiwa tidak terduga seperti epidemi, konflik atau peristiwa alam yang secara inheren tidak mungkin untuk dimodelkan. Namun, semakin jauh ke depan, semakin sulit dipastikan. Misalnya, tingkat fertilitas – dengan sebuah insiden besar yang berdampak pada ukuran sebuah populasi di masa depan – terkadang menyimpan banyak kejutan! Demikianlah, para ahli demografi sejak lama percaya bahwa fertilitas, bahkan di negara-negara yang tingkat fertilitasnya menurun tajam, bisa saja meningkat hingga 2,1 anak per perempuan: ambang batas yang memungkinkan para pasangan untuk “digantikan” oleh dua anak guna memastikan kestabilan demografis. Namun, di negara-negara tersebut, fertilitas tetap lebih rendah di bawah “pembaruan generasi” ini, meskipun ada peningkatan yang signifikan sejak tahun 2000-an di beberapa negara Uni Eropa (Jerman, Rumania, Polandia, Ceko, dll.). Di tingkat mana fertilitas akan stabil pada tahun 2100? Sulit untuk diketahui. Beberapa skenario mengantisipasi kemerosotan cepat fertilitas global: setelah memuncak hingga 9,7 miliar pada tahun 2050, populasi akan menurun menjadi 8,8 miliar pada tahun 2100 atau 2 miliar lebih sedikit dari proyeksi-proyeksi yang dibuat PBB.

Di Heart Attack Grill di Las Vegas, para pramusaji berkostum perawat menyajikan menu-menu hidangan berkalori tinggi
© Photo12/Alamy/Ron Buskirk

Harapan Hidup yang Terkadang Menurun

Didorong oleh kemajuan ekonomi dan medis, usia harapan hidup global bisa mencapai 82 tahun pada tahun 2100 (saat ini 73 tahun). Namun, bahkan di negara-negara maju, usia harapan hidup bisa menurun. Di Amerika Serikat, tingginya kematian akibat Covid-19 menyebabkan pengurangan usia harapan hidup sebanyak 2,7 tahun pada tahun 2019-2021, sementara kemajuan dunia kesehatan sudah terancam akibat meningkatnya penyakit kardiovaskular dan krisis opioid. Selain itu, meskipun kondisi sanitasi umumnya lebih baik di daerah perkotaan daripada di pedesaan, urbanisasi memperburuk polusi udara dan menyebabkan jutaan kematian tambahan, terutama di Asia. Pada tahun 2050, 68% populasi dunia akan tinggal di perkotaan (57% pada tahun 2022).

Kemiskinan Ekstrem Menandai Akhir Pertumbuhan?

Keberadaan populasi yang sangat muda dapat menjadi sumber pembangunan ekonomi… dengan catatan kita bisa mendidik dan memberi makan semua orang.

Pada tahun 1970-an sampai 1990, “naga-naga kecil” Asia (Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Hong Kong) mengalami peningkatan demografis dan ekonomi yang luar biasa. Sebagai contoh, di Taiwan persentase pekerja muda melonjak dari 42% menjadi 54% pada tahun 1960-1990. Namun, “keajaiban ekonomi” ini tidak akan terjadi bila pemerintah tidak berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan sumber daya manusia – terutama pada kesehatan, perencanaan keluarga dan pendidikan – dan juga pada modal ekonomi (sebab untuk memaksimalkan “dividen demografis” dibutuhkan kemampuan untuk mempekerjakan kaum muda yang memasuki pasar tenaga kerja). Akankah negara-negara Afrika memanfaatkan tingginya populasi yang sangat muda ini sebagai kesempatan untuk membangun? Benua ini kini menjadi rumah bagi lebih dari 60% orang yang sangat miskin – yang hidup dengan kurang dari 1,90 dollar per hari – dan menurut Bank Dunia, jumlah mereka akan terus bertambah hingga 90% pada tahun 2030. Realitas-realitas ini kontras tergantung dari wilayahnya. Di Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Mesir, persentase populasi yang hidup dalam kemiskinan ekstrem adalah 5% dibandingkan dengan 70% di Nigeria dan Republik Demokratik Kongo, dua Negara yang diramalkan terpadat di dunia pada tahun 2100.

Migrasi dan Pengaruhnya yang Semakin Meningkat

Hanya sebagian kecil dari populasi dunia yang memilih untuk bermigrasi. Meskipun sedikit, mereka memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan demografis di negara-negara maju.

Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, Divisi Populasi. World Population Prospects: The 2022 Revision.| Infografis: WeDoData
Pada tahun 2020, terhitung 281 juta orang tinggal di luar negara kelahiran mereka. Menurut International Organization for Migration (IOM), jumlah ini tiga kali lebih banyak dibandingkan pada tahun 1970. *Namun, para migran internasional ini hanya mewakili 3,6% dari populasi dunia atau 1 dari 30 orang. Di antara mereka, hanya sepertiganya yang berpindah dari negara berkembang ke negara maju karena sebagian besarnya lagu bermigrasi ke negara dengan tingkat ekonomi yang sama. Citra pria muda, lajang dan berketrampilan rendah yang bekerja di negara kaya tidak sesuai dengan realitas statistik dominan, misalnya pada tahun 2017 setengah dari migran internasional berusia di atas 39 tahun dan 48% dari mereka adalah perempuan. Namun, migrasi internasional memainkan peran penting di tingkat lokal negara-negara maju yang mengalami “penurunan populasi” akibat angka kematian yang lebih tinggi daripada kelahiran. Di Eropa (yang menerima 87 juta migran internasional pada 2020) atau di Amerika Utara (59 juta migran), migrasi internasional berhasil mengerem atau mencegah terjadinya penurunan populasi. Bagi negara-negara asal, migrasi internasional ini juga memiliki peran diantaranya pada 2020, 40% dari migran internasional berasal dari Asia, terutama Cina dan India sebanyak 115 juta orang. Apa yang akan terjadi di masa depan? Meramalkan tren migrasi adalah hal yang sangat rumit. Siapa yang pernah membayangkan, misalnya, bahwa sekitar 7 juta orang Ukraina akan meninggalkan negara mereka pada tahun 2022? Dalam skenario masa depannya, PBB dengan sangat hati-hati memprediksi bahwa tingkat migrasi akan konstan hingga tahun… 2100!

*Status Migrasi Global 2022, International Organization for Migration

Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, Divisi Populasi. World Population Prospects: The 2022 Revision.| Infografis: WeDoData

“Pengungsi Iklim” dan Pergerakan Regional

Apakah para “pengungsi iklim” dari negara-negara miskin akan bermigrasi ke negara-negara maju? Riset-riset – yang saat ini masih sedikit jumlahnya – menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat melahirkan perpindahan tempat populasi meskipun sifatnya temporer dan berjarak dekat. Para pengungsi ini akan kembali ke tempat asal mereka ketika keadaan sudah memungkinkan. Selain itu, perkiraan-perkiraan yang ada saat ini mengindikasikan perpindahan pada level regional, bukan global. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2050 akan ada hingga 86 juta pengungsi iklim di kawasan Afrika sub-Sahara, hampir 90 juta di Asia, dan 17 juta di Amerika Latin.

Terjadi hujan monsun yang menyebabkan banjir terparah di Pakistan dengan menenggelamkan sepertiga wilayahnya. Para pengungsi lalu kembali ke rumah-rumah mereka di Provinsi Sind.
© Aamir Qureshi/AFP

Menuju Keseimbangan Kembali Jenis Kelamin?

Di dunia saat ini, ada lebih banyak pria daripada perempuan, namun situasinya diperkirakan akan berbalik mulai tahun 2050.

Di Bumi, rata-rata 105 anak laki-laki lahir untuk setiap 100 anak perempuan. Ketidakseimbangan kecil ini masih belum dapat dijelaskan penyebabnya, namun tampak wajar sebab fenomena ini telah teramati semenjak awal statistik demografis pada awal abad ke-19. Ketidakseimbangan ini terbantu oleh rendahnya angka kematian anak perempuan di usia muda. Sebaliknya, kesenjangan ini semakin melebar sebab norma sosial di masyarakat masih lebih menguntungkan laki-laki. Hal ini ditandai dengan adanya ketidaksetaraan gender yang kuat: budaya patriarki, mahar pernikahan untuk calon pengantin perempuan, pembagian warisan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, dsb. Contohnya, selama beberapa dasawarsa, di Asia (terutama di India dan Cina) dan di Eropa Timur tercatat 110 hingga 117 kelahiran anak laki-laki untuk setiap 100 kelahiran anak perempuan (sebagai dampak dari aborsi selektif). Akibatnya, jumlah pria di dunia sekarang 44 juta lebih banyak daripada perempuan. Namun, berkat usia harapan hidup yang lebih panjang (75 tahun untuk perempuan, 71 tahun untuk laki-laki pada tahun 2020), jumlah perempuan lebih banyak pada kelompok usia lanjut. Di dunia, keseimbangan gender dengan demikian harus dicapai sekitar tahun 2050 dan perempuan bahkan bisa menjadi mayoritas karena mereka hidup lebih lama. Akhirnya, kebijakan politik untuk kesetaraan gender di India dan Cina akan dapat membuahkan hasil. Korea Selatan menunjukkan bahwa fenomena maskulinisasi kelahiran dapat dibalik karena keseimbangan antara kedua jenis kelamin telah dapat dicapai pada awal tahun 2010-an berkat mobilisasi otoritas publik.

Di Taman Kota Hongkou di Shanghai, ada banyak orang tua yang mengiklankan atau mengikuti iklan-iklan pencarian jodoh untuk anak mereka yang belum menikah.
© Photo12/Alamy/Leonar do Lazo

Kesulitan Mencari Pasangan

Ketidakseimbangan demografis dengan jumlah pria lebih banyak daripada perempuan mengganggu “pasar” pernikahan heteroseksual. Kasus terbesar terjadi di Cina: surplus pria usia menikah meningkat sekitar 1,3 juta per tahun sepanjang 20 tahun ke depan. Atau, menurut Ined, “surplus” 41 juta pria berusia di atas 22 tahun pada tahun 2041! Sekitar tahun 2050, di Cina seperti di India, jumlah pria lajang akan melebihi 50% dari jumlah perempuan. Para orang tua yang sangat menginginkan anak laki-laki mungkin tidak pernah membayangkan bahwa di masa depan anak laki-laki mereka tidak akan dapat menikah dan melanggengkan garis keturunan keluarga mereka…